Tujuh puluh tahun yang lalu, Dr. H.C. Read dalam The Communication of the Gospel (1952) memprediksi bahwa tradisi perlawatan akan menjadi usang pada masyarakat yang terus berubah. Bagi Read, gambaran itu sangat suram dan tidak ideal; sebab baginya, perlawatan memiliki signifikansi bagi pertumbuhan iman umat. Kini, perubahan lansekap dunia telah merubah cara kita menjalani hidup. Berada di kota besar dengan budaya hustle dan serba hiper telah merubah wajah kemanusiaan kita. Keberhasilan diukur dengan seberapa besar uang yang dimiliki, seberapa tinggi posisi, seberapa banyak kepemilikan, serta seberapa besar pengaruh kekuasaan kita pada masyarakat. Perjamuan makan atau syukuran dengan mudah berubah menjadi flexing, pelayanan pada sesama pun tak jarang dekat sekali dengan tindakan unjuk kehebatan atau keunggulan ketimbang altruis. Bersama warga lainnya, kita sama-sama berjuang mencari kehidupan dan keberhasilan di ibukota. Bermimpi untuk dapat memiliki ini dan itu, agar dapat match dengan gaya hidup ibukota. Gedung-gedung pencakar langit yang menawarkan kenyamanan dan kemewahan sulit dipandang sebagai sesuatu yang semu semata, yang sekejap ada dan sekejap tiada. Dalam kota yang demikian, tak mudah membayangkan bahwa perlawatan masih relevan. Sebab privasi menjadi sangat penting. Tak mudah memasuki rumah-rumah mentereng dan ruang-ruang apartemen di tengah kesibukan umat yang sangat padat.

Namun kemarin, keluarga pendeta mengunjungi apartemen kecil kami. Mereka tampak lelah menembus kemacetan. Bagi kami, ini kunjungan biasa saja, layaknya kunjungan teman. Tidak ada yang formal, dan percakapan kami arahkan untuk yang ringan-ringan saja. Semua natural saja, seadanya, sebab memang Sabat hampir tiba. Isi kulkas yang sedikit dikeluarkan, beberapa potongan mangga dalam mangkok kecil, buah naga dua buah dan pisang; ya memang hanya itu yang ada, sebab tak pernah kami menerima tamu di apartemen. Budaya kota membiasakan kami untuk bertemu tamu di restoran tertentu atau di tempat lainnya. Apartemen yang kami huni adalah ruang privat, sederhana, di mana kami bisa berteduh dari hiruk pikuk ibukota. Praktis dalam ruang yang serba terbatas, karpet pun digelar. Semua berselonjor dan bicara santai. Memperhatikan keluarga pendeta pun ikut dalam suasana santai menyambut Sabat pasca kelelahannya seharian melayani, kami benar-benar senang dapat memberi mereka kelegaan sejenak. Kami pun lega, tak ada suasana formal yang mesti membebani pikiran kami pasca lelah seminggu berjibaku dalam kesibukan kerja.

Bingung dengan bagaimana menyikapi kunjungan, kami mengajak keluarga pendeta berkeliling lingkungan apartemen untuk melihat bagaimana cara kami menjalani hidup. Harapan kami, sehabis berkeliling, keluarga pendeta dapat langsung menuju area parkir dan pulang; seperti biasanya tamu-tamu kami sebelumnya. Tapi ini berbeda. Sehabis berkeliling, keluarga pendeta kembali bersama kami ke apartemen. Pendeta yang memang sedari awal sudah terlihat lelah lantas saya tawarkan untuk rebahan di sofa untuk dapat memulihkan tenaga saat nanti menyetir pulang. Ibu pendeta dan putrinya menunggu dengan tenang agar Pak Pendeta bisa pulih dari rasa lelahnya. Menanti beberapa lama, sang putri pun tertidur juga. Hingga hampir tengah malam, perlahan-lahan bantal dan selimut pun kami keluarkan, dan akhirnya semua tidur di hunian kecil kami.

Keluarga kami yang tak biasa menerima tamu, apalagi tak pernah ada orang lain yang pernah tinggal di hunian kami merasa gamang. Saya sendiri sulit tidur malam itu. Merasa kasihan sekaligus merasa bersalah pada keluarga pendeta yang kelelahan dan akhirnya tidur dengan alas seadanya di apartemen kecil kami. Ada rasa ingin meminjam mesin waktu dan memutar balik semuanya dari awal, agar saya dapat mempersiapkan yang lebih layak bagi keluarga pendeta. Gusar, sesekali menengok ke arah keluarga pendeta yang sudah tertidur pulas, sambil memantau jangan sampai udara dari AC terlalu dingin buat keluarga pendeta, bahkan sesekali ingin membangunkan keluarga pendeta dan meminta mereka pindah tidur ke kamar kami; tapi kuatir pasca dibangunkan, justru kualitas tidurnya akan rusak.

Terlalu banyak skenario yang saya bayangkan sepanjang malam itu, bahkan berpikir juga: kira-kira dosa saya yang mana yang hendak ditegur pendeta, hingga ia harus bermalam di hunian kecil kami? teguran apa yang hendak ia berikan kira-kira dan kapan? Atau jangan-jangan pendeta hendak meminta sumbangan pembangunan gereja atau apa seperti yang klise dilakukan para pendeta? Hingga akhirnya saya melihat pendeta bangun pukul empat subuh dan membuka laptopnya sebab ia harus membawakan firman Tuhan dalam acara doa subuh lewat media Zoom. Tak sampai dua detik, saya melompat dari kasur dan menemui pendeta. Saya tawarkan bantuan untuk membuat tugasnya berjalan lancar. Dengan tenang saya menanti pendeta selesai memimpin doa subuh, barangkali pendeta akan menyampaikan tegurannya pagi ini, atau menyampaikan maksud kedatangannya. Pasca selesai doa subuh, saya memberi beberapa sandi bahwa saya dan keluarga siap mendengar nasihat atau penyampaian dari pendeta; tampaknya belum ada pertanda bahwa pendeta akan berbicara sesuatu. Terbiasa dengan budaya terbuka, akhirnya saya pun bertanya: Pak Pendeta, Ibu Pendeta… Sepanjang malam saya kesulitan tidur. Pertama, kami tidak pernah menerima tamu di apartemen ini. Keluarga kami pun tidak pernah tidur di sini. Kedua, dosa apa kiranya yang hendak pendeta tegur atau nasihat apa kiranya yang hendak pendeta sampaikan pada kami, hingga pendeta dan ibu harus tinggal bersama kami malam ini?

Pendeta dan Ibu tertawa lepas setelah mendengar saya mengajukan pertanyaan itu. Mereka sampaikan bahwa tak ada niatan mereka untuk menegur atau apapun, sebab kunjungan mereka adalah sebuah kunjungan keluarga. Memang sulit bagi saya memisahkan kunjungan keluarga dan kunjungan atas nama tugas, sebab keluarga pendeta ini memang juga keluarga dekat kami; namun sekaligus juga pendeta. Pendeta dan Ibu Pendeta lantas menyampaikan: kami sengaja berkunjung, sebab sudah setahun lebih tak pernah berkunjung ke tempat tinggalmu selepas kamu dibaptis dan menikah. Tidak baik jika kami hanya menelepon saja, atau menelepon jika ada butuh bantuan saja.

Sontak kalimat kunci penutup percakapan pagi itu menyadarkan saya. Pertama, sudah lama sekali saya tak pernah berselonjor di lantai apartemen karena kesibukan yang semu. Kedatangan keluarga pendeta membuat saya akhirnya melantai dan dapat kembali merasakan bagaimana saya dibesarkan di kampung dulu, di mana dalam setiap perkumpulan kami sama-sama duduk bersila. Bukan di kursi-kursi restoran dan ruang-ruang pertemuan hotel. Kedua, saya sulit tidur karena menganggap hunian ini adalah milik saya pribadi, di mana privasi kami adalah yang utama; sehingga ketika ada orang lain yang tinggal bersama kami, saya sangat gamang. Saya lupa bahwa tempat tinggal ini hanyalah sementara, dan privasi berlebihan telah menutup pintu hunian saya dari kunjungan Tuhan selama ini. Ketiga, kunjungan ini telah mengembalikan fitrah saya sebagai mahkluk sosial yang dulunya juga dibesarkan dalam lingkungan yang penuh keramahan demikian. Keempat, dalam hiruk pikuk ibukota, keberhasilan yang diwacanakan media sesungguhnya tak lebih dari impian kosong. Kemarin kita menyaksikan orang “bakar duit” lantas mengagumi dan bermimpi bisa menjadi seperti dirinya, esok ternyata kedapatan bahwa hartanya bodong. Anehnya, kita senang menyaksikan kisah-kisah fantastis demikian dan mengikuti terus kanal beritanya; gemar melihat mobil baru yang dibelinya sembari kita menanamkan dalam benak bahwa esok kita pasti bisa sepertinya. Kunjungan sederhana kemarin menunjukkan bahwa keberhasilan yang sesungguhnya adalah ketika tubuh ada dalam fitrahnya sebagai manusia. Berfungsi sebagaimana mestinya, bergerak dalam ketahudirian sebagai manusia yang terbatas.

Empat poin refleksi ini pada akhirnya menyadarkan keluarga kami bahwa yang berkunjung kemarin bukanlah sekedar keluarga pendeta; melainkan Tuhan dan malaikat-malaikatnya. Ada kebangunan rohani dalam keluarga kami dari sebuah kunjungan yang bahkan jauh dari kesan formil itu. Ternyata, kekuatiran Read sejak tujuh puluh tahun yang lalu terjadi hari ini di Jakarta, namun Tuhan selalu punya cara menerobosnya. Lebih dari itu, kunjungan sederhana itu lebih berkuasa ketimbang khotbah dan doa panjang dalam ibadah biasanya. Tak heran jika Ellen G. White menunjukkan betapa pentingnya perlawatan bagi umat (PaM 223). Kunjungan itu telah membuat saya menjadi pengkhotbah, penyiar kabar baik lewat tulisan sepanjang ini; bukan sekedar pendengar Firman. Bukan sejumlah materi yang pada akhirnya diminta Tuhan dari kami, melainkan diri kami seutuhnya. Jika pun keluarga pendeta tidak dengan sengaja berkunjung untuk hasil sebesar ini, ajaiblah Tuhan yang telah berhasil memberi dampak kuasa perlawatan keluarga pendeta bagi keluarga kami.

 

Leave A Comment