Mudah buat saya membicarakan betapa buruknya persungutan bangsa Israel ketika mereka dibawa keluar dari Mesir oleh Musa. Mengkhotbahkannya apalagi. Ada kepuasan tersendiri ketika “nyinyir” dengan mentalitas loyo bangsa Israel yang dalam helicopter view sungguh kurang masuk akal. Settingnya jelas. Gurun, panas, bahan makanan yang serba terbatas, ramai, lelah, perjalanan yang terlalu panjang tanpa peta hingga tak tau ujungnya di mana dan kapan akan tiba. Namun, membayangkan itu terjadi hari ini rasanya agak sulit. Baru saja tersadar dalam perjalanan ke Gunung Gede via Putri minggu lalu bersama komunitas pendaki sehat.

Keceriaan saat berangkat dari Jakarta dan menikmati pemandangan sepanjang jalan seketika lenyap saat kaki harus dengan lincah melewati jalanan licin dan akar pepohonan sembari sesekali tergelincir tipis. Rasa syukur waktu pertama kali melakukan pendakian perlahan-lahan berubah menjadi persungutan: mengapa tidak jalan-jalan ke hotel saja? mengapa harus mendaki gunung? ini berapa jauh lagi? apa bisa berhenti di sini saja atau pulang? Namun dalam semangat yang sesekali menyeruak, ada percakapan bahwa kira-kira beginilah situasi saat kita dikejar-kejar pada masa penganiayaan nanti. Kiranya kisah penganiayaan ini sudah jelas dalam rekam pelajaran kita tentang nubuatan.

Pertanyaan yang lantas muncul adalah: apa benar situasi pengejaran akan seperti ini? Atau apakah kita justru akan menjauhi kota secara otomatis karena memang gaya hidup hedon di kota tak lagi sesuai dengan cara kita menjalani hidup? Jika pengejaran benar demikian adanya secara literal, adakah kemungkinan kita bisa lari dari pengejaran dengan mentalitas yang selemah ini serta modal fisik yang pas-pasan untuk lari dari pengejaran? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengusik perjalanan. Dalam diam di tengah riuh rendah candaan para pendaki lainnya, semua pertanyaan itu terus direnungkan.

Satu hal yang pasti, persungutan dan penyesalan mendaki itu persis mengingatkan saya pada bangsa Israel yang dibawa keluar dari Mesir. Analogi ini tidak sempurna mewakili seluruh pengalaman bangsa Israel waktu itu, namun secara partikular menunjukkan bagaimana persungutan dapat menular dan melemahkan fisik (baik fisik diri sendiri maupun yang mendengarkannya). Kaki perlahan semakin lemah, keraguan untuk berjalan semakin nyata dan keseluruhan fisik berharap istirahat yang lebih panjang. Berada pada lingkungan yang demikian, membuat olah fisik, olah raga dan olah jiwa mengalami kendala.

Sepulangnya dari pendakian, saya melakukan pencarian untuk menemukan apa kiranya tanggapan Ellen G. White tentang pergulatan intelektual saya dalam pendakian kemarin. Ellen White menunjukkan bahwa persungutan bangsa Israel bersumber dari rasa kurang bersyukur dan ketidaksabaran. Sebuah ujian penting yang diberikan Allah (PP, 294). Pengujian yang dimaksudkan kiranya jelas bukanlah sebagai penilaian akhir (summative test), melainkan sama halnya dengan formative test, di mana ujian ditujukan di saat yang sama juga untuk melatih kapabilitas. Harapannya, pasca 40 tahun berjalan, ada kapabilitas baru yang dimiliki bangsa Israel, yakni: bersyukur dan bersabar.

Perjalanan ke Gunung Gede bukan soal mencapai puncak. Bukan pula soal kecepatan. Persungutan dan kesabaran juga bukan hanya soal gurun, melainkan juga perjalanan di gunung, atau bahkan lebih luas dari itu, perjalanan hidup di kota. Padahal, ada sebuah kemewahan (baca dalam istilah kekinian: mevvah) yang dinikmati para pendaki. Di tengah kota yang super sibuk di mana manusia terperangkap dalam hiper-realitas dalam hutan-hutan gedung tinggi, tak semua punya keleluasaan waktu untuk merawat raganya berekreasi ke gunung sembari mengembalikan hak otot-ototnya untuk bergerak. Tak semua pula para pencari nafkah di Jakarta memiliki kesempatan untuk menggerakkan jiwa raganya menikmati pemandangan alami hutan dan udara bersih dari produsen langsung oksigen alami ibukota. Tak semua pula memiliki kemampuan fisik yang mumpuni untuk masih dapat berjalan hingga elevasi yang demikian, sebuah kemewahan fisik yang Tuhan berikan bagi para pendaki. Tak mudah pula memperoleh kesempatan menikmati nikmatnya rasa buah jeruk di gunung, makanan tanpa minyak goreng, tanpa bumbu, namun terasa nikmat di lidah dan ringan di badan. Barangkali daya adaptasi untuk hidup di kota sudah membuat tubuh sedikit lupa dengan hakikat kita sebagai manusia, hingga kita lupa bersyukur.

Leave A Comment